Hiperealitas Identitas Remaja dalam Dunia Virtual

Saturday, March 05, 2022

Designed with Canva

Di era digital ini, segala aktivitas komunikasi menjadi cepat dan canggih dengan teknologi  yang semakin maju disertai inovasi-inovasi terbarunya. Begitu juga dengan orang-orang yang mengadopsinya, semakin cerdas dalam mengoperasikannya hingga melupakan batas. Dunia seakan terbagi menjadi dua, yakni dunia nyata dan dunia maya. Anehnya, masyarakat kini lebih antusias dengan dunia baru itu. Dunia maya seolah melebur bersama dunia nyata. Hiperrealitas adalah ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan kenyataan dan fantasi. Adita Miranti (2017) dalam artikel ilmiahnya yang berjudul ‘Visual Hyperreality of Teenagers in Social Media with Photographs as Communication Media’ menyatakan bahwa menurut Baudrillard, dalam  hiperrealitas ditandai dengan runtuhnya ideologi dan lenyapnya bentuk asli realitas yang diambil alih oleh duplikasi dari nostalgia dan fantasi.

Di dunia nyata setiap orang memiliki satu identitas yang tetap, namun di dunia virtual orang dapat menciptakan banyak identitas yang berbeda-beda. Kondisi ini juga ditandai dengan kemunculan istilah ‘alter’ (berasal dari  kata alter ego) yaitu akun anonim yang menunjukkan identitas individu dengan menggambarkan sisi lain dari personalitasnya. Misalnya seseorang memiliki dua akun Twitter, akun utama untuk interaksi dengan teman sekolahnya, dan akun kedua untuk mengekspresikan diri dengan menunjukkan identitas lain seperti Kpopers yang bermain roleplayer, seseorang yang ingin mengonsumsi konten dewasa, atau sekedar akun untuk berkeluh kesah dengan bebas. Tak jarang banyak terjadi penipuan dengan menggunakan akun alter ini dalam hal berkencan, jual beli, dan lain sebagainya. Pertukaran informasi dalam dunia alter terasa lebih  luas dan gamblang. Dalam artikel Rhoma Cahyanti yang berjudul ‘Hiperealitas dalam Dunia Maya’, ia menjelaskan bahwa efek hiperealitas yang melebur bersama dunia maya berakibat dengan berbagai informasi yang kita terima, kita tidak pernah tau mana yang benar dan mana yang salah.

Dunia maya a.k.a cyberspace, dunia yang lebih luas daripada bumi, dunia tempat berkumpulnya warganet, yang tak hanya berisi jutaan informasi, tetapi juga penuh dengan kontroversi. Berdasarkan konsep populer McLuhan mengenai Desa Global atau Global Village, yang mengemukakan bahwa dunia dianalogikan seperti desa yang luas dimana warganya adalah seluruh pengguna media online yang saling terkoneksi, berkomunikasi tanpa adanya batas dan sekat. Misalnya, kita memiliki saudara di luar negeri tetapi tidak perlu datang kesana untuk dapat berinteraksi. Namun, bisa menggunakan teknologi komunikasi seperti smartphone untuk dapat bertukar informasi setiap harinya. Jadi, kemudahan komunikasi tersebut seolah-olah membuat dunia menjadi sebuah desa yang besar dimana warganya saling terhubung tanpa adanya jarak yang memisahkan.

Fenomena dunia siber banyak kita jumpai di platform media sosial dimana aktivitas user yang lebih memprioritaskan identitas dirinya di dunia maya daripada di dunia nyata. Pasalnya di aktivitas di dunia maya memang cukup menjanjikan, bisa menghasilkan profit melebihi dunia nyata. Tak perlu berjualan sambil berkomentar 'cek ig kami kak', kini hanya dengan mengunggah foto selfie saja (dengan nilai plus tertentu) bisa endorse kesana-kemari, langsung banyak tawaran model, lalu menjadi 'Selebgram'. Orang berlomba-lomba membuat status, menggunggah foto, demi mendapatkan suatu pengakuan. Mereka gila akan 'identitas diri', membutuhkan suatu pengakuan dari orang lain, ingin disukai, diperhatikan, dan diidolakan. Hal ini kerap terjadi pada kalangan remaja, di usia mereka yang produktif mereka ingin menunjukkan sesuatu pada dunia.

Dalam data Statistik Telekomunikasi Indonesia 2020, internet di dominasi oleh remaja. Remaja sangat ketergantungan dengan smartphone dan media sosial melekat bersamanya, mereka bisa dengan mudah menghabiskan waktunya di internet untuk berselancar secara online. Di usia itu, mereka mencoba untuk membagun image untuk disukai, dan menunjukkan eksistensi sosial pada circle-nya. Instagram menjadi salah satu platform yang kerap digunakan remaja untuk mengekspresikan diri. Pada umumnya Instagram bertujuan untuk mengunggah foto maupun video yang berkaitan dengan gaya hidup, hobi, dan sejenisnya. Namun seiring berjalannya waktu, kini Instagram dikenal sebagai media sosial yang biasa digunakan untuk ajang pamer.

Memang tak ada salahnya mengekspresikan diri melalui media sosial selama masih dalam batas wajar atau sesuai dengan etika bersosial media. Hal yang sering kita lihat di media sosial cenderung berisi koten-konten kurang berfaedah serta berbau negatif. Sekalipun kita telah berlangganan pada halaman yang menyediakan konten yang positif dan bermanfaat, pasti ada saja konten negatif yang tersisipkan. Hal ini dikarenakan warganet lebih tertarik menanggapi konten negatif maupun yang sedang viral di media sosial, entah itu memberi komentar berupa kritik, saran, impresi dan sejenisnya. Namun yang terjadi, konten tersebut sering menimbulkan perdebatan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Adapula yang sengaja memposting konten yang tidak relevan sekedar untuk mencari atensi dan meningkatkan views.

Belum lagi dengan oknum-oknum yang gemar memprovokasi dan betujuan untuk memecahbelah kelompok tertentu melaui berita hoax atau isu-isu sensitif yang dirangkai sedemikian mungkin. Cukup sulit memang di era ini untuk mendapatkan berita yang masih menekankan asas netralitas. Bahkan koran online sekalipun, sekarang banyak yang berisi konten-konten yang kurang informatif untuk dibaca, kurang kredibel, dan sumbernya juga kurang jelas. Terlebih, kini semakin bertebaran situs online yag menyajikan berita yang sumbernya dari media sosial, padahal berita tersebut tidak memiliki bukti kuat serta informasi yang akurat.

Ada pula, rangkaian konten-konten berisi pornografi yang ditampilkan secara gamblang (publik), sehingga tak ada batasan bagi siapapun untuk melihatnya. Pasalnya pengguna media sosial terbesar adalah remaja mulai dari umur 12 tahun keatas, mereka pun bisa menyaksikan hal-hal yang kurang senonoh yang seharusnya belum sesuai masanya untuk ditonton. Itulah mengapa generasi Z banyak yang terjerumus ke dalam pergaulan negatif akibat bebasnya akses media sosial, remaja yang memasuki masa pubertas justru masa mudanya diisi dengan kegiatan layaknya orang dewasa. Itu semua terjadi karena kurangnya perhatian dan pantauan dari orangtua mereka masing-masing, dan prihatinnya lingkungan mereka bermain. Begitulah dampaknya jika anak-anak jaman sekarang diasuh oleh internet.

Akan tetapi kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pihak yang menyebarkan postingan tersebut, kesalahan itu bisa datang dari diri kita sendiri. Sebelum melakukan sesuatu, ada baiknya kita memikirkan dampaknya bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Apa yang kita lakukan di media sosial harus bisa dipertanggungjawabkan. Media sosial diciptakan untuk memudahkan penyebaran informasi dan komunikasi. Jika kita terlepas dari manfaatnya, maka hanya mudaratnya saja yang tersisa. Bagi remaja, dalam rangka mengekspos eksistensi diri sebaiknya tidak dilakukan dengan berlebihan. Waktu yang dihabiskan untuk media sosial tidak dapat mengganti waktu di dunia nyata. Dampak buruk penggunaan media sosial yang berlebihan dapat membuat mereka kurang bisa bersosialisasi dan bergaul secara nyata di lingkungannya.  Kesadaran untuk bijak dalam bersosial media diperlukan agar dapat membatasi diri dari hal-hal yang kurang bermanfaat, pasalnya real life identity di masa depan akan lebih penting dan berguna daripada virtual identity.

Designed with Canva


References:

You Might Also Like

0 comments

Member of

BLOG STATS